Belajar Menerima Penolakan



Salah satu patah hati terbesar sebagai manusia rasa-rasanya adalah ketika ditolak. Sudah lebih dari 4 bulan saya berusaha mendapatkan pekerjaan formal di lembaga nirlaba di Seattle, Amerika Serikat. Sudah lebih dari 120 aplikasi saya kirimkan dan hasilnya ada penolakan demi penolakan. Beberapa diantaranya rasanya mendekat tetapi hasilnya tetap menjauh. 

Salah satu yang betul-betul membekas adalah setelah ditolak oleh suatu lembaga nirlaba yang fokus pada isu pertanian dan ketahanan. Wawancara pertama terlewati. Wawancara kedua aman terkendali termasuk tes tertulis yang sungguh dikerjakan sepenuh hati. Harapan semakin membuncah setelah rekruter meminta kontak referensi. Beberapa hari berselang kabar yang tidak dinanti itupun datang. Penolakan yang kesekian kalinya. Rasanya kali ini lebih sakit. Seminggu penuh enggan untuk membuka perangkat kerja, berkomunikasi dengan siapapun. Rasanya hanya ingin menyendiri berharap bangun lagi beberapa waktu kemudian dan keadaan terasa lebih baik. 

Nyatanya setelah mengisolasi diri selama sepekan, keadaan terasa tidak membaik. Daftar lowongan pekerjaan semakin menumpuk, banyak kesempatan dalam seminggu terlewati, termasuk kabar dari orang-orang sekitar yang pesannya diabaikan. Tidak ada yang instan, berharap berdiam diri dan semua akan baik-baik saja. Dunia tidak sebaik itu, Kawan. Mendapat penolakan tentu tidak menyenangkan, tidak nyaman, apalagi berkaitan dengan sesuatu yang menurutmu pentong dan sudah kauusahakan sebaik-baiknya. 

Bisa tentang pasangan hidup. 
Bisa tentang kompetisi. 
Bisa tentang studi. 
Bisa tentang usaha.
Bisa tentang karier. Ini yang sedang saya usahakan hari ini. 

Belajar menerima penolakan bukan hal yang mudah. Ini yang sedang saya pelajari hari-hari ini. 
Mengisolasi diri, bisa jadi salah jalan untuk berdamai. Apalagi saat mengambil waktu sendiri, kita jadi lebih punya waktu untuk berefleksi, berpikir untuk mengambil langkah selanjutnya. Meski belum tahu apa? 

Belajar menerima penolakan buat saya adalah hal yang perlu terus dilakukan. Seminggu setelah mengisolasi diri, saya banyak berpikir tentang apa yang mau saya perbuat. Banyak bertanya pada diri sendiri dan menimbang langkah apa yang perlu saya ambil.
 

Kenapa harus bekerja sama orang lain? Kalau mau menginisiasi sesuatu harus dari mana mulainya? Saya bisa apa di tengah gempuran sosio-ekonomi-politk yang carut marut? Kenapa harus peduli? Kenapa harus resah? Kenapa dulu nggak kuliah soal X? Kapan sih hidup bisa tenang? 

Dan segerombol pertanyaan-pertanyaan penuh kecemasan lainnya. Seminggu mengisolasi diri saya menemukan bahwa, kegagalan seperti penolakan bukan jalannya untuk dielak, tetapi diakui, diidentifikasi, dirunut. Seminggu setelah mengisolasi diri saya bangun pagi, memulai aktivitas dengan hal yang sudah lama sekali saya rindukan: berdoa. Menarik napas yang dalam dan hanya meminta satu: ketenangan. Mandi lalu mulai lagi pencarian kerja dan menyusun rancangan ide yang secara acak ditemukan saat isolasi diri. Semoga rancangan ide yang satu ini berhasil. 

Belajar menerima penolakan bukan tentang lari darinya. Belajar menerima penolakan dimulai dengan berbesar hati sadar bahwa penolakan yang dialami bukan akhir dari apapun yang sedang diusahakan hari ini. Tapi, ya, akui bahwa kita ditolak, terima itu dan ambil pelajarannya. Akan terus menjadi penolakan demi penolakan jika kita tidak belajar darinya. Belajar menerima penolakan berarti belajar menerima bahwa kita sedang bertumbuh dan ditempa. Lagi dan lagi.

Comments